Berbicara
tentang perlindungan konsumen (consumer protection), berarti berbicara
tentang salah satu sisi dari korelasi antara lapangan perekonomian
dengan lapangan etika. Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang
saling membutuhkan antara pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pelaku
usaha adalah memperoleh laba (profit) dari transaksi dengan konsumen,
sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui
pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.
Dalam hubungan yang
demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya. Konsumen
biasanya berada dalam posisi yang lemah dan karenanya dapat menjadi
sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi
mempunyai posisi yang kuat.Oleh karena itu, diperlukan seperangkat
aturan hukum yang dapat melindungi atau memberdayakan konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan hak warga negara yang pada sisi lain
merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya, khusunya
atas produk yang halal dan baik.Sehingga dalam menentukan aturan
hukum tersebut diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan
sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan hal
tersebut telah disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
PENGERTIAN
Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan
perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk
melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.Dalam bukunya, Pengantar
Hukum Bisnis, Munir Fuady mengemukakan bahwa konsumen adalah pengguna
akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau
jasa yang terrsedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak
untuk diperdagangkan.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja
hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan
dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dan
yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak
untuk diperdagangkan.
2. DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Di Indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
- UUD 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), pasal 27, dan pasal 33.
- UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821).
- UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
- UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- PP No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 tentang Penanganan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
Konsumen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan komersial
(intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer, consumer of
industrial market).
b.
Konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan diri
sendiri/keluarga/non komersial (Ultimate consumer, Ultimate buyer, end
user, final consumer, consumer of the consumer market).
4. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum
a. Asas Manfaat.
Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
b. Asas
Keadilan. Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memberikan haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.
Asas Keseimbangan. Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spiritual.
d.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen. Dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
e. Asas
Kepastian Hukum. Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan tujuan dari perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
e. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
dan keselamatan konsumen.
5. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Hukum,
khususnya hukum ekonomi mempunyai tugas untuk menciptakan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat, dan pemerintah.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional pada era
globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan
rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang
diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
Selanjutnya, upaya menjaga harkat dan martabat konsumen perlu didukung
peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan
sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dalam Pasal 4 UUPK mengatur hak-hak dari konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lain.
Selanjutnya pasal 5 UUPK mengatur kewajiban konsumen, yaitu:
a.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. HUKUM TERTULIS YANG BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sejak
zaman penjajahan Hindia Belanda sudah ada beberapa peraturan yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen, misalnya sebagai berikut:
a. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonasi Petasan), S. 1932-143.
b. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Orgonnantie (Ordonasi Obat Keras), S. 1937-641.
c. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonasi Bahan-Bahan Berbahaya), S. 1949-377.
d. Tin Ordonnantie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509.
e. Verpakkings Ordonnantie (Ordonasi Kemasan), S. 1935 No. 161.
Setelah kemerdekaan, walaupun
Undang-Undang yang membahas secara khusus tentang perlindungan konsumen
belum ada, tetapi dalam peraturan perundang-undangan telah dijelaskan
secara parsial yang berhubungan dengannya, misalnya:
a. Undang-Undang Pokok Kesehatan, UU No. 9 Tahun 1960.
b. Undang-Undang Barang, UU No. 10 Tahun 1961.
c. Undang-Undang Narkotika, UU No. 9 Tahun 1976.
d. Undang-Undang Lingkungan Hidup, UU No. 4 Tahun 1982.
e. Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982.
Selain
itu juga disebutkan mengenai perlindungan konsumen dalam peraturan
perundang-undangan terutama dalam UUD 1945 pasal 33 dan 27, serta dalam
Pancasila sila 2 dan sila 5.
Contoh Kasus:
Sebuah iklan produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acap kali merasa tertipu iklan.
Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla begitu Ludmilla Arief biasa disapa, membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan.
Sebulan menggunakan transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.
“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car dan irit dari mobil itu,” ujarnya ditemui wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/4).
Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilalui Milla adalah Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim.
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,”imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati swasta itu.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David ML Tobing, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan produsen yang tak sesuai kenyataan. “Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.
Kuasa hukum NMI, Hinca Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut Hinca, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.
Analisis:
Menurut analisis saya sebaiknya sebelum mempromosikan produk terhadap masyarakat lebih baik di uji coba dulu sebelum diperkenalkan dan diluncurkan ke media iklan untuk dipormosikan. Dengan mengadakan road test dan dihadiri banyak saksi sebagai bukti kalau-kalau nanti terjadi hal yang tidak diinginkan bagi pihak perusahaan.
Bagi para pembeli sebaiknya meneliti dahulu kebenaran iklan sebelum membeli karena ditakutkan penyesalan timbul belakangan. Bisa jadi tuduhan itu akan berbalik pada anda jika tidak terbukti keluhan yang anda ajukan kekepolisian, dan dapat dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik.
Referensi:
Sebuah iklan produk adalah bahasa pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu seindah kenyataan. Konsumen acap kali merasa tertipu iklan.
Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla begitu Ludmilla Arief biasa disapa, membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan.
Sebulan menggunakan transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan yang digunakannya boros bensin.
“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car dan irit dari mobil itu,” ujarnya ditemui wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/4).
Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang sering dilalui Milla adalah Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan. Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan cabang Halim.
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,”imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati swasta itu.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan. Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan BPSK Jakarta.
Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David ML Tobing, berharap majelis hakim menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan David, kliennya kecewa pada iklan produsen yang tak sesuai kenyataan. “Tidak ada kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.
Kuasa hukum NMI, Hinca Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut Hinca, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.
Analisis:
Menurut analisis saya sebaiknya sebelum mempromosikan produk terhadap masyarakat lebih baik di uji coba dulu sebelum diperkenalkan dan diluncurkan ke media iklan untuk dipormosikan. Dengan mengadakan road test dan dihadiri banyak saksi sebagai bukti kalau-kalau nanti terjadi hal yang tidak diinginkan bagi pihak perusahaan.
Bagi para pembeli sebaiknya meneliti dahulu kebenaran iklan sebelum membeli karena ditakutkan penyesalan timbul belakangan. Bisa jadi tuduhan itu akan berbalik pada anda jika tidak terbukti keluhan yang anda ajukan kekepolisian, dan dapat dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik.
Referensi:
- http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-pengadilan
- http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/06/makalah-perlindungan-konsumen.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar